Kau

Melewati fajar, menyongsong masa depan. Itu yang kuharapkan ada pada diriku. Tak takut akan masa depan dan berani melihat datangnya malam, doaku setiap waktu. Bagai sajak yang tak akan pernah selesai ditulis, aku memberanikan diriku.

Aku tak takut gelap. Aku tak takut akan apa yang terjadi di masa depan. Aku tak takut padamu, anak didikku. Aku akan mengantarmu ke sana. Ke tempat orang-orang sukses berada. Aku berusaha, walaupun mungkin yang kulakukan bukanlah hal yang ingin kulakukan.

Suatu hari nanti, nak. Suatu hari nanti jika kita bertemu maka aku juga sedang menghadapi ketakutanku. Juga, jika suatu hari kau sampai di tempat yang kau inginkan, itu berarti aku telah berhasil menghadapi ketakutan terbesarku.

The Reason

Diikutkan Dalam Lomba Cerpen ‘Bonus Track’

cerpen bonus track

Aku selalu percaya bahwa setiap apa yang orang lakukan pasti ada alasannya. Setiap orang yang kita temui pasti ada tujuannya. Tidak ada yang namanya kebetulan. Seperti yang terjadi hari ini.

BRAK…

Kejadiannya begitu cepat. Hingga aku yang mengalaminya pun tak bisa mengingat dengan jelas kejadian itu. Sesaat sebelum kejadian, aku melihat truk besar yang berada pada jalur kemudiku. Aku yang sedang mengambil handphone di dasbor mobil tak melihat truk itu. Aku pun banting setir dan menabrak pembatas jalan.

Dan di sinilah aku. Tak terlihat dan tak tersentuh. Bahkan aku memiliki kekuatan supranatural, melihat tubuhku sendiri. Wajahku sungguh tidak berbentuk. Baju yang kukenakan sudah penuh dengan darah. Ah, bahkan aku tidak memakai alas kaki. Padahal, sepatu yang kukenakan pagi ini adalah sepatu yang paling kusuka.

Aku pun mengikuti ambulans yang membawa tubuhku. Aku tak begitu terkejut mendapati kekuatan supranatural ini karena sudah banyak film-film yang menggambarkan hal ini. Seseorang mengalami kecelakaan lalu koma. Dan hanya menunggu waktu hingga pemeran utama membangunkannya dari tidur panjangnya. Cerita selesai dengan bahagia. Jadi, apa yang perlu ditakutkan? Tidak ada.

Ketika ambulans telah tiba di rumah sakit, aku tak melihat anggota keluargaku di sana. Padahal di film-film, keluarga korban pasti sudah datang. Mungkin aku harus membeli soda sembari menunggu pemeran utama yang lain membangunkanku.

“Agh.”

Aku merasakan sesuatu memotong nadiku. Seperti ada yang terlepas dari tubuhku. Apakah ini saatnya aku bangun? Secepat inikah? Aku belum membeli soda.

Aku pun bergegas menghampiri tubuhku. Aku menengok di setiap sekat-sekat di UGD, mencari tubuhku. Sakit yang kurasakan semakin kuat. Kali ini seperti ada seseorang yang mengambil napasku, begitu sesak. Aku jatuh terjerembap. Ada apa ini?

Namun, sakit itu hanya sekejap lalu aku tak merasakan apa-apa. Tubuhku terasa sangat ringan. Bahkan mungkin aku bisa berlari mengitari rumah sakit ini hanya dalam hitungan detik saja. Aku merasakan pasti ada sesuatu. Aku harus menemukan tubuhku. Ketika aku menemukan tubuhku, kain putih telah menutupi wajahku. Apa aku sudah mati?

“Kalau begitu aku adalah hantu? Mengapa ini tidak terjadi seperti di film-film?” Aku bertanya lirih sembari memandangi tubuhku yang berbaring.

Satu pikiran terlintas dalam otakku. Jika aku adalah hantu, berarti aku bisa menakut-takuti orang. Aku tersenyum jahil. Aku mendekati seorang laki-laki yang berada di depanku. Dia memakai kaus, celana jeans, dan sepatu yang serba hitam. Rambutnya panjang dan bergelombang.

Aku memulai aksiku. Aku meniup-tiupi tengkuk laki-laki itu. Dia tetap bergeming. Aku menggerak-gerakkan rambutnya, berharap dia menengok padaku, tetapi dia tidak menengok. Aku mencoba menggerakkan gelas yang berada di meja yang terletak di depan orang itu, berharap gelas itu terjatuh dan menimbulkan suara. Namun, tidak terjadi apa-apa. Gelas itu bahkan tidak bergerak sama sekali. Mungkin kekuatan yang ku dapatkan belum sekuat itu.

Aku berdiri disampingnya.

“Huuuu,” bisikku di telinganya. Aku tak tahu dia mendengarku atau tidak. Mungkin dia tidak mendengarku, karena dia sama sekali tidak bereaksi.

 Karena sebal, aku berdiri di depan laki-laki itu. Aku menggerak-gerakkan tanganku di depan wajahnya. “Hei, kamu tidak melihatku? Kamu harusnya takut, karena aku adalah hantu. Buuuuu!”

Laki-laki itu membuang muka. “Kamu melihatku, iya kan?” tanyaku memastikan. Aku mengikuti wajahnya tapi dia memalingkan wajahnya lagi. Aku semakin yakin bahwa dia benar-benar bisa melihatku. Aku pun mencoba untuk memegang wajahnya dan menghadapkannya padaku. Dan itu berhasil. Aku bisa menyentuhnya dan itu merupakan kemajuan yang paling besar dalam sejarah ke-hantu-anku.

“Kamu sedang apa?” tanyanya ketus. Laki-laki itu melepaskan tanganku dari wajahnya.

“Oh, kamu bisa melihatku,” kataku gembira.

“Oh. Wow,” serunya sambil mengangkat kedua tangannya tapi tanpa ekspresi. “Kenapa kamu disini?”

“Aku?” Aku menunjuk wajahku. “Entahlah. Aku juga tidak tahu. Kamu tahu aku hantu?”

“Ya, aku tahu itu.”

Aku menatapnya penuh dengan tanda tanya. “Tapi, kenapa kamu bisa melihatku?”

“Aku dengan senang hati memberitahukan alasannya padamu. Namun, semua ini bukan tentang aku, ini tentang kamu. Kenapa kamu masih di sini? Apa yang membuatmu tetap tinggal di sini? Apa alasannya?”

“Alasan? Mana aku tahu. Tiba-tiba saja semuanya seperti ini dan aku sama sekali tidak mengetahui jawabannya. Apa aku harus googling dulu, lantas memberitahukan alasannya padamu?” Aku mencibir. “Aku akan senang bila kamu membantuku.”

“Aku akan memberitahumu, hantu. Ketika seseorang meninggal, ia akan dibawa ke dunia yang lain, bukan berada di sini lagi. Jika ia masih tetap berada di sini, berarti masih ada urusan yang belum terselesaikan. Misalnya saja, ada janji yang belum terpenuhi.”

“Aku tidak ingat,” kataku lirih.

Laki-laki itu menghela napas. “Bagaimana dengan keluargamu?”

“Seharusnya mereka ada di sini,” kataku bergumam.

Sekali lagi, laki-laki itu menghela napas panjang. “Biar aku tanyakan pada mereka,” katanya menunjuk perawat dan dokter yang mengelilingiku.

Aku terdiam. Keluarga. Sepertinya sekarang, aku tahu alasan mengapa aku ada di sini. Aku tak tahu di mana keluargaku. Aku ingat, saat terjadi kecelakaan itu adalah saat di mana aku dalam perjalanan mencari keluargaku, keluarga yang tidak kutahu keberadaannya.

Sekarang aku tahu alasanku menjadi hantu: menemukan keluargaku. Dan kurasa itu adalah misi yang sangat sulit.

Hujan yang Mengguyur Api

Tak terasa waktu cepat sekali bergulir. Mungkin ia tak berjalan tapi berlari. Tanggal tiga satu bulan Desember yang merupakan hari terakhir di tahun 2014, tak ada salahnya menjadi seperti orang-orang kebanyakan; mengikuti euforia akhir tahun. Saya tuangkan euforia itu dalam sebuah puisi.

Hujan yang Mengguyur Api

Sorak dan gempita itu kian surut

Kembang api-kembang api dinyalakan

Namun hanya sesaat, lantas mati tak bersisa

Perayaan hari ini pun padam

Tersiram guyuran hujan awal tahun baru

Sorak-sorak manusia yang mengawali tahun berganti dengan desahan panjang

Hujan membuyarkan segalanya…

Namun, tanpa disangka, hujan membawakan kita hari esok

Dengan matahari yang menjemput

Dan pelangi yang menari di tengah awan

Sekarang sudah saatnya kita mencintai bahagia

Saatnya kita memilih untuk bahagia

Bukan keluh-kesah dan desahan-desahan panjang

Sekarang saatnya untuk berani

Saatnya kita berani mengungkapkan tak hanya membayangkan

Bukan perayaan yang menjadi kebiasaan

Namun, syukur yang menjadi kebiasaan

Maka, bila kau berhasil melaluinya

Dengan sendirinya bahagia akan memilihmu, teman.

Selamat akhir tahun.

[Review] Diari Hara

Identitas Buku

cover-diari-hara

Judul buku       : Diari Hara: Catatan Harian Cowok Cupu

Pengarang       : Nana Sitompul

Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama

Tebal                : 232 halaman; 20 cm

Editor               : Irna Permanasari

Blurb

COWOK SUKA NULIS DIARI?!

Sst! Jangan keras-keras, nanti yang lain tahu!

Hara memang diam-diam suka nulis diari, dan ini ceritanya…

Punya orang tua tajir dan sekolah di SMA elite nggak menjamin kamu bakal dianggap keren. Nggak percaya? Tanya Hara! Kalau mobil kamu cuma sedan bekas, kamu nggak atletis, atau kemampuan akademik kamu biasa banget, jelas kamu dianggap cupu!

Tetapi Hara langsung mati-matian les matematika demmi merebut hati Sissy, anak baru di kelasnya. Apalagi Sissy cantik dan pintar, dan cuma tertarik sama cowok yang otaknya encer juga. Meski bersaing dengan Ramon si ketua klub matematika yang juga jagoan basket, Hara bertekad menghapus label cupu dan jadi cowok idaman Sissy!

N.B.: Jangan bilang-bilang soal diarinya!

Seperti yang tertulis di blurb. Bagaimana bila seorang cowok menulis diari? Hara Farhan Panggabean adalah seorang siswa di sekolah elite yang suka menulis diari. Ia memiliki orang tua yang kaya raya tapi ayahnya menganut ajaran hidup sederhana dan low profile.

Suatu hari, kelasnya kedatangan seorang siswi baru bernama Sissy. Dan saat itu pula Hara jatuh cinta pada pandangan pertama. Hara pun bertekad untuk menjadi cowok idaman untuk Sissy. Mampukah Hara menghilangkan label cupu yang tertempel padanya dan menjadi cowok idaman bagi Sissy? Mmm, makanya bacalah Diari Haru untuk mengetahui jawabannya!!

Kesan pertama membaca buku ini adalah KOPLAK! Ada bagian-bagian tertentu di buku ini yang membuatku tersenyum bahkan tertawa. Seperti pada alasan yang diutarakan Hara untuk seorang cewek aneh. Dan di lembar-lembar lain novel ini membuatku kayak ‘oh, iya, bener juga’.

Bahasa yang dituturkan oleh penulis enak dibaca. Bahasanya gak terlalu begitu teenlit tapi juga  gak terlalu tinggi ataupun ‘mendewa’. Namun, karena bentuknya diari, aku jadi kurang bisa merasakan tokoh-tokohnya. Aku gak menemukan ‘kecupuan’ Hara. Dan menemukan tokoh Hara ini biasa aja. Biasanya sih aku suka sama cowok yang cupu. *Hmmm…*

Lalu tentang bagian kepala sekolah ‘turun tangan’ dengan kasusnya Hara dan Nana. Seriusan. Apa kepala sekolah dari sekolah yang elite mengurusi urusan yang terbilang ‘sepele’ kayak gitu? Bukankah biasanya paling mentok urusan itu ditangani oleh guru kelas.

Namun, secara keseluruhan buku ini menyenangkan untuk dibaca. Dan dalam buku ini pula aku sadar bahwa kita sebaiknya belajar untuk menjadi diri sendiri.

Quotes:

Ampun! Dia tidak tahu namaku. Kesannya aku sama tidak berartinya dengan enam miliar penduduk bumi. (halaman 33)

Aku tidak suka matematika. So wahat? Memangnya dunia akan kiamat kalau aku tidak mahir matematika. (halaman 37)

Kupikir, lebih sakit tangan yang memberi dengan tulus tapi ditolak. (halaman 88)

Menangis bukan tanda kelemahan. (halaman 89)

Bila seseorang tahu cara menangis, akan lebih mudah baginya belajar tertawa. (halaman 141)

Rating: 3.5 dari 5

Sembilan Belas

Sembilan belas tahun yang lalu, tangisan lirih disuarakan oleh seorang anak yang sangat lemah. Ia menangis, meminta perhatian seluruh orang di rumah sakit. Ia mengiba, memohon orang-orang untuk menggendongnya. Sang suami memandang bayi yang ada di depannya. Menimang-nimang akan dinamai siapa bayi itu. Sang istri yang masih lelah meminta sang suami untuk menamainya Roosyidah Haniifah. Sembilan belas tahun dari hari ini, istri dan suami itu mengharapkan agar bayi yang digendongnya akan menjadi seorang pahlawan suatu saat nanti.

Ya, aku. Aku yang sering menyebalkan. Aku yang sering mengomel. Dan aku yang sering merepotkan orang lain ini diharapkan untuk menjadi pahlawan. Pada akhirnya sekarang aku dalam proses menjadi pahlawan tanpa tanda jasa. Ya, sekali lagi. Untukku. Selamat menjadi tua. Semangatlah untuk menjadi pahlawan tanpa tanda jasa.