Diikutkan Dalam Lomba Cerpen ‘Bonus Track’
Aku selalu percaya bahwa setiap apa yang orang lakukan pasti ada alasannya. Setiap orang yang kita temui pasti ada tujuannya. Tidak ada yang namanya kebetulan. Seperti yang terjadi hari ini.
BRAK…
Kejadiannya begitu cepat. Hingga aku yang mengalaminya pun tak bisa mengingat dengan jelas kejadian itu. Sesaat sebelum kejadian, aku melihat truk besar yang berada pada jalur kemudiku. Aku yang sedang mengambil handphone di dasbor mobil tak melihat truk itu. Aku pun banting setir dan menabrak pembatas jalan.
Dan di sinilah aku. Tak terlihat dan tak tersentuh. Bahkan aku memiliki kekuatan supranatural, melihat tubuhku sendiri. Wajahku sungguh tidak berbentuk. Baju yang kukenakan sudah penuh dengan darah. Ah, bahkan aku tidak memakai alas kaki. Padahal, sepatu yang kukenakan pagi ini adalah sepatu yang paling kusuka.
Aku pun mengikuti ambulans yang membawa tubuhku. Aku tak begitu terkejut mendapati kekuatan supranatural ini karena sudah banyak film-film yang menggambarkan hal ini. Seseorang mengalami kecelakaan lalu koma. Dan hanya menunggu waktu hingga pemeran utama membangunkannya dari tidur panjangnya. Cerita selesai dengan bahagia. Jadi, apa yang perlu ditakutkan? Tidak ada.
Ketika ambulans telah tiba di rumah sakit, aku tak melihat anggota keluargaku di sana. Padahal di film-film, keluarga korban pasti sudah datang. Mungkin aku harus membeli soda sembari menunggu pemeran utama yang lain membangunkanku.
“Agh.”
Aku merasakan sesuatu memotong nadiku. Seperti ada yang terlepas dari tubuhku. Apakah ini saatnya aku bangun? Secepat inikah? Aku belum membeli soda.
Aku pun bergegas menghampiri tubuhku. Aku menengok di setiap sekat-sekat di UGD, mencari tubuhku. Sakit yang kurasakan semakin kuat. Kali ini seperti ada seseorang yang mengambil napasku, begitu sesak. Aku jatuh terjerembap. Ada apa ini?
Namun, sakit itu hanya sekejap lalu aku tak merasakan apa-apa. Tubuhku terasa sangat ringan. Bahkan mungkin aku bisa berlari mengitari rumah sakit ini hanya dalam hitungan detik saja. Aku merasakan pasti ada sesuatu. Aku harus menemukan tubuhku. Ketika aku menemukan tubuhku, kain putih telah menutupi wajahku. Apa aku sudah mati?
“Kalau begitu aku adalah hantu? Mengapa ini tidak terjadi seperti di film-film?” Aku bertanya lirih sembari memandangi tubuhku yang berbaring.
Satu pikiran terlintas dalam otakku. Jika aku adalah hantu, berarti aku bisa menakut-takuti orang. Aku tersenyum jahil. Aku mendekati seorang laki-laki yang berada di depanku. Dia memakai kaus, celana jeans, dan sepatu yang serba hitam. Rambutnya panjang dan bergelombang.
Aku memulai aksiku. Aku meniup-tiupi tengkuk laki-laki itu. Dia tetap bergeming. Aku menggerak-gerakkan rambutnya, berharap dia menengok padaku, tetapi dia tidak menengok. Aku mencoba menggerakkan gelas yang berada di meja yang terletak di depan orang itu, berharap gelas itu terjatuh dan menimbulkan suara. Namun, tidak terjadi apa-apa. Gelas itu bahkan tidak bergerak sama sekali. Mungkin kekuatan yang ku dapatkan belum sekuat itu.
Aku berdiri disampingnya.
“Huuuu,” bisikku di telinganya. Aku tak tahu dia mendengarku atau tidak. Mungkin dia tidak mendengarku, karena dia sama sekali tidak bereaksi.
Karena sebal, aku berdiri di depan laki-laki itu. Aku menggerak-gerakkan tanganku di depan wajahnya. “Hei, kamu tidak melihatku? Kamu harusnya takut, karena aku adalah hantu. Buuuuu!”
Laki-laki itu membuang muka. “Kamu melihatku, iya kan?” tanyaku memastikan. Aku mengikuti wajahnya tapi dia memalingkan wajahnya lagi. Aku semakin yakin bahwa dia benar-benar bisa melihatku. Aku pun mencoba untuk memegang wajahnya dan menghadapkannya padaku. Dan itu berhasil. Aku bisa menyentuhnya dan itu merupakan kemajuan yang paling besar dalam sejarah ke-hantu-anku.
“Kamu sedang apa?” tanyanya ketus. Laki-laki itu melepaskan tanganku dari wajahnya.
“Oh, kamu bisa melihatku,” kataku gembira.
“Oh. Wow,” serunya sambil mengangkat kedua tangannya tapi tanpa ekspresi. “Kenapa kamu disini?”
“Aku?” Aku menunjuk wajahku. “Entahlah. Aku juga tidak tahu. Kamu tahu aku hantu?”
“Ya, aku tahu itu.”
Aku menatapnya penuh dengan tanda tanya. “Tapi, kenapa kamu bisa melihatku?”
“Aku dengan senang hati memberitahukan alasannya padamu. Namun, semua ini bukan tentang aku, ini tentang kamu. Kenapa kamu masih di sini? Apa yang membuatmu tetap tinggal di sini? Apa alasannya?”
“Alasan? Mana aku tahu. Tiba-tiba saja semuanya seperti ini dan aku sama sekali tidak mengetahui jawabannya. Apa aku harus googling dulu, lantas memberitahukan alasannya padamu?” Aku mencibir. “Aku akan senang bila kamu membantuku.”
“Aku akan memberitahumu, hantu. Ketika seseorang meninggal, ia akan dibawa ke dunia yang lain, bukan berada di sini lagi. Jika ia masih tetap berada di sini, berarti masih ada urusan yang belum terselesaikan. Misalnya saja, ada janji yang belum terpenuhi.”
“Aku tidak ingat,” kataku lirih.
Laki-laki itu menghela napas. “Bagaimana dengan keluargamu?”
“Seharusnya mereka ada di sini,” kataku bergumam.
Sekali lagi, laki-laki itu menghela napas panjang. “Biar aku tanyakan pada mereka,” katanya menunjuk perawat dan dokter yang mengelilingiku.
Aku terdiam. Keluarga. Sepertinya sekarang, aku tahu alasan mengapa aku ada di sini. Aku tak tahu di mana keluargaku. Aku ingat, saat terjadi kecelakaan itu adalah saat di mana aku dalam perjalanan mencari keluargaku, keluarga yang tidak kutahu keberadaannya.
Sekarang aku tahu alasanku menjadi hantu: menemukan keluargaku. Dan kurasa itu adalah misi yang sangat sulit.