Ketika melihat awan yang tampak pucat, aku takut untuk pergi keluar. Mungkin sebentar lagi awan mulai menangis dan menjatuhiku dengan air matanya. Sehingga aku memutuskan untuk menghidupkan laptopku dan mulai berselancar di dunia maya.
Aku seperti manusia kebanyakan. Manusia yang tidak menyukai ketika awan mulai menangis. Atau angin yang mulai bersuara. Aku lebih suka menikmati hariku di dalam kamar dengan selimut yang membungkus tubuhku. Atau duduk santai memandangi laptop dan mulai membunuh keingintahuanku. Ditemani dengan segelas kopi pekat dan berbagai camilan.
Di mana kamu?
“Di rumah. Malas keluar. Mau hujan.”
Mungkin di sana dia sedang kesal padaku karena aku tidak hadir menemaninya. Bukan maksudku untuk tidak datang. Hanya saja, aku malas untuk keluar saat hujan turun. Bagaimana kalau aku flu? Bagaimana kalau aku panas? Bagaimana kalau nanti aku malah terjangkit virus yang berbahaya?
Ya sudah. Baik-baik di rumah.
Apa ini? Kenapa dia membalas dengan kata-kata seperti ini? Apa maksudnya? Tidak biasanya dia membalas SMSku dengan kata-kata seperti ini. Mungkinkah dia marah karena aku tidak datang? Mungkinkah dia sedih kalau aku tidak menepati janjiku? Tapi, bukankah sebelum-sebelumnya aku juga seperti ini? Ada apa dengan dia?
Kuambil ponselku dan kucoba untuk menghubunginya. Tidak aktif. Apa yang terjadi?
Aku berdiri dari tempat dudukku, mengambil jaket, dan berlari menuju tempat janjian. Entah apa yang kupikirkan. Hal ini baru terjadi kali ini. Aku tak peduli lagi tentang awan yang mulai menangis. Aku tak peduli lagi tentang aku yang mulai dijatuhi air matanya. Aku tak peduli lagi kalau nanti aku bisa sakit. Aku hanya ingin tahu apa maksud semua ini.
Dengan napas yang memburu aku sampai di tempat janjian. Aku belum menemukan muka ataupun tubuhnya. Padahal dengan tubuhnya yang cukup tinggi harusnya aku sudah bisa melihat dia. Tapi, dia ada di mana? Aku mengedarkan pandanganku. Pohon-pohon hijau yang mulai basah, anak-anak yang mulai berlari mencari tempat teduh, dan hanya aku yang menantang derasnya hujan. Sampai detik ini pun aku tak melihat sosoknya.
Tiba-tiba aku tak lagi merasakan hujan lagi. Aku menengadahkan kepala dan melihat payung putih. Aku memutar badanku dan seketika aku merasa senang. Dia hadir di belakangku, melindungiku dari air hujan yang mulai mengguyur tubuhku.
“Kenapa kamu di sini?” Tanyanya dengan senyum di bibir.
“Apa sih? Kenapa kamu ngirim SMS kayak gitu? Kenapa nggak SMS kayak biasanya. OK gitu,” jawabku.
“Karena dibutuhkan hal yang tidak biasa untuk mendapatkan hal yang luar biasa. Kalau aku SMS seperti biasanya mungkin kamu nggak akan berani menantang hujan ini. Mungkin sekarang kamu masih duduk di depan laptopmu itu. Mungkin kamu masih tak mengacuhkanku. Mungkin juga kamu nggak bisa tahu bahwa aku berarti bagimu.”
Dia memelukku. Memberikan kehangatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Dan aku mulai sadar bahwa dia dan payung putihnya memang berarti untukku.
“Maaf membuatmu menunggu dan maafkan aku yang terlalu takut untuk melangkah.”