Tag Archives: Menunggu

#1 Melangkah Menuju Tak Terbatas

Ketika melihat awan yang tampak pucat, aku takut untuk pergi keluar. Mungkin sebentar lagi awan mulai menangis dan menjatuhiku dengan air matanya. Sehingga aku memutuskan untuk menghidupkan laptopku dan mulai berselancar di dunia maya.

Aku seperti manusia kebanyakan. Manusia yang tidak menyukai ketika awan mulai menangis. Atau angin yang mulai bersuara. Aku lebih suka menikmati hariku di dalam kamar dengan selimut yang membungkus tubuhku. Atau duduk santai memandangi laptop dan mulai membunuh keingintahuanku. Ditemani dengan segelas kopi pekat dan berbagai camilan.

Di mana kamu?

“Di rumah. Malas keluar. Mau hujan.”

Mungkin di sana dia sedang kesal padaku karena aku tidak hadir menemaninya. Bukan maksudku untuk tidak datang. Hanya saja, aku malas untuk keluar saat hujan turun. Bagaimana kalau aku flu? Bagaimana kalau aku panas? Bagaimana kalau nanti aku malah terjangkit virus yang berbahaya?

Ya sudah. Baik-baik di rumah.

Apa ini? Kenapa dia membalas dengan kata-kata seperti ini? Apa maksudnya? Tidak biasanya dia membalas SMSku dengan kata-kata seperti ini. Mungkinkah dia marah karena aku tidak datang? Mungkinkah dia sedih kalau aku tidak menepati janjiku? Tapi, bukankah sebelum-sebelumnya aku juga seperti ini? Ada apa dengan dia?

Kuambil ponselku dan kucoba untuk menghubunginya. Tidak aktif. Apa yang terjadi?

Aku berdiri dari tempat dudukku, mengambil jaket, dan berlari menuju tempat janjian. Entah apa yang kupikirkan. Hal ini baru terjadi kali ini. Aku tak peduli lagi tentang awan yang mulai menangis. Aku tak peduli lagi tentang aku yang mulai dijatuhi air matanya. Aku tak peduli lagi kalau nanti aku bisa sakit. Aku hanya ingin tahu apa maksud semua ini.

Dengan napas yang memburu aku sampai di tempat janjian. Aku belum menemukan muka ataupun tubuhnya. Padahal dengan tubuhnya yang cukup tinggi harusnya aku sudah bisa melihat dia. Tapi, dia ada di mana? Aku mengedarkan pandanganku. Pohon-pohon hijau yang mulai basah, anak-anak yang mulai berlari mencari tempat teduh, dan hanya aku yang menantang derasnya hujan. Sampai detik ini pun aku tak melihat sosoknya.

Tiba-tiba aku tak lagi merasakan hujan lagi. Aku menengadahkan kepala dan melihat payung putih. Aku memutar badanku dan seketika aku merasa senang. Dia hadir di belakangku, melindungiku dari air hujan yang mulai mengguyur tubuhku.

“Kenapa kamu di sini?” Tanyanya dengan senyum di bibir.

“Apa sih? Kenapa kamu ngirim SMS kayak gitu? Kenapa nggak SMS kayak biasanya. OK gitu,” jawabku.

“Karena dibutuhkan hal yang tidak biasa untuk mendapatkan hal yang luar biasa. Kalau aku SMS seperti biasanya mungkin kamu nggak akan berani menantang hujan ini. Mungkin sekarang kamu masih duduk di depan laptopmu itu. Mungkin kamu masih tak mengacuhkanku. Mungkin juga kamu nggak bisa tahu bahwa aku berarti bagimu.”

Dia memelukku. Memberikan kehangatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Dan aku mulai sadar bahwa dia dan payung putihnya memang berarti untukku.

“Maaf membuatmu menunggu dan maafkan aku yang terlalu takut untuk melangkah.”

Ketika Hati Merindu

Aku tahu hubungan  kita sudah lama berlalu. Hubungan pertemanan kita.

Dulu kita saling menyapa, menegur, menasihati, tertawa bahkan menangis. Semua kita lakukan bersama. Entah itu pekerjaan yang sulit maupun yang remeh-temeh sekalipun. Aku merindukan semua hal itu.

Dengan mulutmu yang unik itu, kadang kau mengungkapkan hal-hal yang lucu. Kau menceritakan semua hal yang belum aku tahu. Kau memberiku sebuah dunia baru dari segi perspektifmu. Kau memberikan semangat yang membuatku dari yang duduk bermalas-malasan untuk berdiri dan berani menyongsong masa depan. Menyongsong kehidupan di bumi yang sangat rumit.

Badanmu yang tinggi sudah cukup membuatku aman. Kau melindungiku dari mereka yang mencoba menyakitiku. Kau membesarkan hatiku ketika aku tak mampu mencapai apa yang aku inginkan.

Kau dipanggil tomboy oleh mereka. Aku mengerti mengapa mereka memanggilmu demikian. Sudah jelas tubuhmu tinggi bak tiang yang berjalan. Kaos oblong dan jinsmu yang sudah bolong-bolong itu selalu saja menemanimu ke mana kamu pergi. Aku sudah bosan sebenarnya melihatmu demikian. Apa tak pernah terlintas dalam pikiranmu untuk memakai gaun yang sangat indah? Yang paling menguatkan mereka menyebutmu tomboy adalah rambutmu yang super pendek itu. Bagaimana bisa mereka mengenalimu sebagai seorang wanita apabila mahkotamu yang paling indah itu kau potong sangat pendek?

Semua hal-hal kecil tentangmu membuatku dekat denganmu. Menjalin sebuah hubungan yang dinamakan pertemanan. Bahkan aku menganggapnya sebagai persahabatan. Mungkin bagimu tidak.

—-

Hari-hari yang bahagia itu berlalu, teman.

Seperti sebuah dongeng, hal yang indah di depan tidak akan bertahan lama. Dan begitu pula dongeng tentang kita.

Aku pernah bermimpi menjadi seorang pendidik yang nantinya akan mengantarkan mereka (anak didikku) menggapai cita-citanya sendiri. Tapi, mimpi itu tertimbun dengan angan-angan ku untuk menjadi dokter, akuntan, penulis novel dan juga pembalap. Mimpi itu kembali muncul ketika aku berteman denganmu. Sampailah aku pada jalan di mimpi itu.

Aku tahu kau juga memiliki mimpi. Namun, mimpi itu kini menjadi jurang pemisah antara kita. Menjauhkan kita dari arti pertemanan. Dan pelan-pelan kau menjauhiku.

Berita tentang kesuksesanmu terdengar juga di telingaku. Aku bahagia mendengarnya. Sungguh. Mungkin juga aku turut andil dalam mendoakanmu menggapai mimpi mu itu. ((Mungkin)).

Dan kini aku menulis tentangmu. Tentang hatiku yang merindu kehadiranmu, teman. Sungguh.

Hey you. I want to talk to you. I want to talk everything that I’ve done, everything that make me smile or sad again. I want to see your face, your eyes or your mouth. But now, I don’t know anything about you. And it looks impossible when I realize my wish. I miss you.

Sincerely,

RH